h1

i-il’s media

Satu komentar

  1. Suara Mereka Jelang Pencairan Dana BLT, “Suami dan Menantu Nganggur, Kartu BLT Juga Tak Dapat”
    Sabtu, 31 Mei 2008
    Pembagian jatah Bantuan Langsung Tunai (BLT) belum menyentuh semua lapisan orang miskin. Akibatnya, beberapa keluarga miskin tidak mendapatkan bantuan yang diberikan atas kompensasi kenaikan BBM pemerintah tersebut. Salah satunya dirasakan Baniara (63), warga RT 1 RW 12 Kelurahan Gunung Pangilun Padang. Bila dilihat bentuk rumahnya, Baniara termasuk keluarga berada. Tapi, semua anaknya itu jauh di rantau. Mereka rata-rata sudah berkeluarga.

    Kehidupan anaknya tidak jauh berbeda. Jangankan untuk membantu ibunya Baniara, untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari saja, anak-anak Baniara masih kelimpungan. Saat ditemui Padang Ekspres di kediamannya, Baniara perempuan tua ini mengatakan pernah mendapatkan BLT pada pembagian tahun 2005, tapi tahun ini ia tidak merasakan jatah pembagian dari pemerintah itu lagi. “Laki ambo indak karajo lai doh, jo apo ambo ka makan. Sadangkan anak ambo, Yuni (30), alun bisa mambantu lai. Lakinyo indak bakarjo pulo. Ambo ingin bana dapek BLT. Lumayan tu mah, untuk pambali bareh,” keluhnya dengan suara lirih.

    Baniara telah mengupayakan menayakan nasibnya ke ketua RT tapi belum mendapatkan kepastian yang jelas. Sehingga ia dengan wajah penuh kelesuan, ia berharap ada mendapatkan kecipratan pembagian BLT dari tetangga sebelah. Apalagi sejak Kamis lalu beberapa orang tetangga sekitar tempatnya tinggal tampak berseri-seri setelah mendapat uang pembagian dari pemerintah.

    Sambil memandangi langit-langit rumah yang telah lapuk telah lama tidak diperbaiki, Baniara tidak henti-henti menanyakan keadaan dirinya. Sebab sejak beberapa orang berminantu, harapan akan mendapat tanggungan dari anak-anak belum juga didapatkan. “Mudah-mudahan kita mendapatkan uang BLT ini di kemudian hari,” harap Baniara.

    Nasib serupa juga dialami Mak Iyal (63). Wanita yang tinggal berdekatan di rumah Baniara pun sangat berharap mendapatkan BLT. Di pondok kecil di tepi rel kereta api yang ditempatinya, ibu yang tinggal bersama anak bungsunya ini sangat merasa sedih tidak mendapatkan BLT. Dalam pikirannya, ia mendapatkan hak menerima BLT itu.

    Kini Mak Yal bersama suaminya tinggal di pondok kecil di pinggir tepi rel kereta api. Biasanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja di pasar sebagai panggunti lado. Dari hasil pekerjaan ini Mak Iyal hanya mendapatkan upah sekitar Rp10 ribuan. ”Kalau cabe itu tidak banyak laku, maka tidak banyak pula uang dibawa pulang,” terangnya.

    Selain itu, Mak Iyal di rumah harus memikirkan bagaimana makanan yang disantap dalam sehari-hari suami dan anak bungsunya. Alih-alih untuk makan keluarga untuk ongkos pulang dari pasar saja, Mak Iyal harus berpikir dua kali. Sebab dari hasil bekerja di pasar itu separuhnya akan habis untuk ongkos. Jadi makanan yang direncanakan untuk keseharian hanya berupa lauk pauk murah atau sisa makanan dari hari sebelumnya. “Saya sangat mengharapkan BLT itu, karena penghasilan sehari-hari tidak mencukupi kebutuhan harian,” tutupnya. (ilham safutra



Tinggalkan komentar